BANTENMORE.COM
Jakarta ¦ Bahwa kejahatan korupsi dikenal juga sebagai “white collar crime” (kejahatan kerah putih), yang secara lumrah melibatkan orang-orang yang pintar, punya kekuasaan, mempunyai kewenangan dan terlebih lagi capital (uang). Oleh karenanya korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Sebangun dengan itu, maka seharusnya cara-cara pemberantasan korupsi dilakukan secara luar biasa. Kamis (22/9/2022)
Bahwa Kejati Banten dalam penanganan perkara korupsi hibah pondok pesantren Ta. 2018 & Ta. 2020 Pemprov Banten, dinilai tidak professional. Hal ini terlihat dari pertimbangan Majelis Hakim halam 505 Putusan Perkara Nomor 21/Pid.sus-TPK/2021/PN.Srg yang menilai perkara ini belum sempuma karena ada beberapa pihak yang seharusnya bertanggungjawab, tapi tidak/belum dimintakan pertanggungjawabannya. Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah Tim TAPD dan BPKAD. Dari titik point penting inilah, Publik dapat bertanya secara kritis, ada apa dengan Kejati Banten?. dari point penting ini juga, kemudian diduga Kejati Banten seakan-akan menutupinya dengan alasan-alasan yuridis dalam melakukan upaya hukum banding dan kasasi. Padahal diketahui putusan hakim terhadap para terdakwa telah memenuhi 2/3 dari tuntutan jaksa, diketahui pula terdakwa 3, terdakwa 4 dan Terdakwa 5, telah mengakui perbuatannya dan kesalahannya, telah mengembalikan uang pengganti. Lalu apa yang menjadi kepentingan Kejati Banten selain diduga mengulur-ulur perkara ini dengan tidak memeriksa pihak-pihak lain yang diamanatkan dalam putusan? jelaskan kepada publik, sehingga Kajati Banten tidak dicurigai bermain mata dalam perkara ini..!! jelaskan kepada public apakah cara penanganan seperti ini yang disebut penanganan yang luar biasa atau penanganan yang tumpul ke atas ?!!
Bahwa beberapa kali pergantian Kepala Kejaksaan Tinggi Banten dilakukan oleh Jaksa Agung, namun tidak ada satupun yang mau menyentuh pihak-pihak yang disebut yang harus bertanggungjawab dalam perkara hibah ponpes ini, padahal Banten-Jakarta hanya 100-an km saja, hanya 2 jam perjalanan. Apakah Jaksa Agung tidak bisa mengawasi kinerja bawahannya?. apakah laporan-laporan yang diterimanya hanya ABS (Asal Bapak Senang) ? bahwa jargon Bpk. Jaksa Agung RI Tajam Ke atas Humanis Ke Bawah kami ingin realisasinya dalam perkara ini, bila tidak kongkret, maka slogan tersebut hanya sebatas fatamorgana bagi kami rakyat Banten.
Bahwa laporan resmi telah kami sampaikan, untuk membuka jilid II perkara hibah ini namun lagi lagi alasan klise yang kami dapatkan dari Kejati Banten yaitu menunggu putusan inkracht. Beberapa kali kami melakukan unjuk rasa, beberapa kali menyampaikan ingin bertemu langsung dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Banten untuk berdialog, mempertanyakan laporan kami, mempertanyakan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi namun beliau dengan keangkuhannya tidak mau menemui kami, dan kami hanya ditemui asisten yang tidak mempunyai kewenangan secara final.
Bahwa sampailah kami pada kesimpulan, Kejati Banten diduga tidak akan mau memeriksa pihak pihak yang disebut dalam putusan, meskipun kelak telah ada putusan kasasi. Oleh karenanya kami meminta Jaksa Agung untuk turun tangan, melalui Jaksa Agung Muda Pengawasan (JAMWAS), Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAMPIDSUS), Jaksa Agung Muda Pembinaan (JAMBIN).
karena dirasa dan diduga Kajati beserta jajarannya tidak bersikap professional dalam penegakkan hukum, terutama perkara hibah ini.
Bahwa patut diakui Jaksa Agung saat ini sangat peduli dengan kondisi bangsa dan negara Indonesia ini, namun dengan adanya penanganan perkara korupsi hibah seperti ini, dapat menjadi rusak oleh segelintir oknum dalam institusinya sendiri. Bapak Jaksa Agung kita sangat peduli dengan sebuah keadilan sehingga kami juga memberikan doa terbaik buat bapak Restoratif Justice kita ini, khususnya kejaksaan kuat berkat tangan dingin beliau dalam memimpin Kejaksaan Agung.
kita berharap apa yang beliau bangun jangan rusak oleh segelintir oknum yang mencari kepentingan pribadi dalam menangani kasus di daerah.
Disisi lain, ada polemik di masyarakat, terkait pertanggungjawaban pengembalian kerugian Negara terhadap 563 Pondok Pesantren (beban pengembalian pada FSPP untuk Ta 2018) dan 172 Pondok Pesantren (untuk Ta.2020), yang menjadi sebab citra buruk pondok pesantren di Banten, yang mana berdampak pada pondok pesantren tidak lagi menerima hibah untuk tahun 2021 dan 2022, Semua itu disebabkan ketidakpastian hukum dan ketidaktegasan Kepala Kejaksaan Tinggi Banten dalam penegakan hukum.
Bahwa Aliansi sangat prihatin dengan citra pondok pesantran yang dikambinghitamkan oleh segelintir oknum sehingga seolah pondok pesantren penerima bantuan ini bersalah dan harus mengembalikan kerugian negara padahal dalam hal ini pihak pondok pesantren adalah korban dari sebuah kebijakan yang salah urus. Bahwa aktor intelektual kasus hibah ponpes ini harus dihadapkan ke Pengadilan, serta citra dan nama baik ponpes harus dipulihkan. Penegakan hukum di era kajati banten saat ini terkesan hanya retorika terbukti dengan banyaknya
kegiatan seremonial seperti penandatanganan MoU dg OPD serta fakta integritas anti korupsi dan lainnya, namun disisi lain kasus-kasus yang ditangani tumpul keatas tajam ke bawah contohnya kasus, Samsat Kelapa Dua yang hanya sebatas kepala seksi, staf dan honorer yang menjadi tersangka, padahal ada fungsi waskat oleh atasannya.
Bahwa pola pencitraan dapat dibaca ketika disampaikan oleh Kajati Banten pada Bulan Juli 2022, saat meneken Nota Kesepahaman mengenai penyelamatan pendapatan dan aset daerah bersama Pemprov Banten. Di hadapan para Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), ia mengungkapkan keprihatinan itu : Sampai bulan ini ada 21 perkara yang saya tetapkan tersangkanya, ketika menjabat di sini betapa sedihnya, angka itu di luar nalar,” kata Leonard, Serang, Kamis News Detik, 7/7/2022.
Tapi di sisi lain ada juga berita yang menyatakan 21 Tersangka (bukan perkara ), seperti pemberitaan Disway.id tanggal 24 Bulan Juni 2022. Bahwa perbedaan informasi tersebut tidak bisa diklarisikasi karena tidak ada rekapitulasi perkara yang rinci yang disampaikan di publik. Bahwa setelah kami telusuri dengan merangkai dari pemberitaan situs resmi Kejati Banten, maka yang lebih mendekati kebenaran adalah 21 tersangka (bukan 21 perkara). Bahwa jika ditelusuri perkara-perkara di tahun 2022 semester 1 adalah lebih banyak perkara-perkara yang telah dimulai sejak masa kepemimpinan Bpk. H. Reda. Bahwa dengan kata lain di Semester 1 tahun 2022 kepemimpinan Bpk. Leonard Eben, tidak ada perkembangan yang signifikan terhadap pemberantasan korupsi, atau dengan kata lain bukan prestasi yang luar biasa.
Bahwa dalam hal kinerja yang disampaikan Kajati Banten, apa tolak ukurnya keberhasilan yang dicapai ? hal ini tidak begitu jelas apakah juga hasil dari penelitian ataukah hanya perkiraan-perkiraan subjektif personal. Bahwa misalkan jika ingin mengukur kinerja, secara simple dapat kita kalkulasikan misalnya berapa ribu paket pekerjaan / kegiatan yang ada dibanten, kemudian ambil saja sebagai sampling 10-20% dari keseluruhan proyek/kegiatan yang diduga pekerjaannya tidak benar atau diduga syarat dengan korupsi, dari situ terlihat kinerja Kejati Banten dengan 21 tersangka yang selama ini dibangga-banggakan, apakah sudah mendekati angka minimum tersebut, jika masih jauh, maka tidak perlu disebut suatu prestasi yang berlebihan.
Dengan uraian tersebut di atas, Aliansi meminta secara tegas kepada yang kami hormati Jaksa Agung Republik Indonesia, yang saat ini menurut kami adalah sosok pimpinan yang ideal bagi pemberantasan korupsi agar berkenan untuk:
1. Copot atau mutasikan KAJATI BANTEN (Bpk. Leonard Eben Ezer SH, MH) beserta antek-anteknya;
2. Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengambil alih secara keseluruhan perkara korupsi dana hibah pondok pesantren Ta.2018 & Ta.2020 Pemprov Banten, atau setidaknya melakukan supervisi dan pengawasan atas perkara ini, selanjutnya agar memerintahkan untuk membuka jilid II perkara korupsi tersebut (tanpa perlu menunggu putusan inkrahct) serta memeriksa pihak-pihak yang disebut dan atau harus bertanggung jawab sebagaimana Putusan Nomor 21/Pid.sus TPK/2021/PN.Srg, yaitu antara lain:
-Bpk. Wahidin Halim (mantan Gubernur Banten);
-Bpk. Al-Muktabar (Ketua Tim TAPD 2019/Pj. Gubernur Banten saat ini );
-Tim TAPD 2017-2020;
-BPKAD selaku PPKD 2018-2020
Demikian press realess ini kami sampaikan. (*/red)
Sumber : Faisal, SH